Resensi:
Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah fi At-Tahdzir min Al- Ghuluw fi At-Takfir
Di saat menjamurnya pemikiran irja`, yakni paham yang sangat
berlebihan dalam menganggap seseorang sebagai orang muslim meski
syarat-syarat keislaman tidak ia penuhi, ternyata ada sekelompok orang
yang sama sekali berpaham kebalikan; mereka sangat ektrim dalam
mengeluarkan seseorang dari lingkup Islam. Mereka adalah orang-orang
Ghulatut takfir (Takfiri ekstrim).
Menurut orang-orang berpaham irja`, selama seseorang itu masih
membenarkan Allah dalam hatinya, ia adalah orang muslim, meskipun ia
sujud kepada berhala, menyembah patung, berloyal kepada orang-orang
kafir atau mengganti syari’at Allah dengan undang-undang buatan manusia.
Sebaliknya, takfiri ekstrim mudah sekali mengkafirkan seorang muslim
’hanya’ karena hal yang mereka anggap sebagai kekafiran, padahal
sebenarnya tidak seperti itu. Mereka bersikap seperti itu karena
kurangnya ilmu, hawa nafsu, atau sebab-sebab lain.
Ada golongan tertentu yang mengkafirkan orang yang tidak mau berbaiat
kepada imam mereka. Ada juga kelompok yang memukul rata dengan vonis
kafir terhadap semua orang yang ikut pemilu serta orang-orang yang
belajar di majlis-majlis pengajian milik orang-orang
Murji`ah berbaju
salafi antek pemerintah yang saat ini sedang menggurita di tanah air.
Di antaranya adalah Ustadz Halawi Ma’mun. Beliau berijtihad bahwa tidak
ada mani’ (penghalang) apapun untuk mengkafirkan mereka semua.
Ada lagi yang mengkafirkan seluruh pegawai pemerintah. Mereka
dianggap memberikan loyalitas kepada thaghut. Tanpa disadari pula
sebagian kita kadang mengkafirkan orang yang mati dalam keadaan
melakukan dosa besar. Mungkin, mereka tidak secara langsung
menganggapnya kafir. Namun, vonis bahwa ia adalah penghuni neraka dan
kekal di dalamnya tidak lain adalah pengkafiran.
Itulah contoh pengkafiran yang menyelisihi syari’at. Karena itu, dalam rangka menjelaskan kesalahan paham
takfir yang dianut takfiri ekstrim itu, Asy-Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi menulis kitab berjudul
Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah fi At-Tahdzir min Ghuluw fi At-Takfir. Kitab ini juga beliau namakan dengan
Risalah Al-Jafr fi Anna al-Ghuluw fi At-Takfir Yu`addi ila Al-Kufr. Dengan
izin Allah, sebagian ikhwah menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa
Indonesia dan mempublikasikannya pada webblog dengan alamat
www.millahibrahim.wordpress.com.
Dalam buku
Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah ini, Asy-Syaikh Abu
Muhammad menjelaskan kaedah-kaedah dan langkah-langkah untuk menentukan
kafirnya seseorang. Setelah itu, beliau menyebutkan dengan panjang lebar
tiga puluh lebih kesalahan dalam soal
takfir dengan memaparkan dalil dan argumentasi yang sangat kuat. Di antara paham-paham salah dalam soal
takfir yang beliau jelaskan adalah:
M Tidak membedakan antara
takfir muthlaq dengan
takfir mu’ayyan.
M Mengkafirkan semua orang yang tinggal di
darul kufr atau negeri yang pemerintahnya kafir atau murtad.
M Mengkafirkan semua orang yang memuji orang kafir atau mendo’akan kebaikan untuknya, tanpa adanya perincian.
M Mengkafirkan orang yang tidak berbaiat kepada imam tertentu.
M Mengkafirkan orang dengan dasar nash yang tidak qath’ie.
M Mengkafirkan orang karena perbuatan atau ucapan yang masih mengandung kemungkinan selain kekafiran.
M Mengkafirkan semua orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, tanpa ada perincian.
M Mengkafirkan pelaku dosa dan belum bertaubat sampai matinya.
M Tidak membedakan antara sikap loyal dengan orang-orang kafir dengan berinteraksi dengan baik kepada mereka.
M Mengkafirkan orang yang mendiamkan kemungkaran dan kekafiran pemerintah.
M Mengkafirkan setiap orang yang bekerja di instansi-instansi pemerintah kafir, tanpa adanya perincian.
M Mengkafirkan setiap orang yang meminta tolong kepada thaghut dan
antek-anteknya, atau berlindung ke pengadilan-pengadilan mereka di saat
tidak adanya kekuasaan Islam.
M Tidak membedakan antara mematuhi peraturan administrasi dengan tunduk kepada undang-undang kufur.
M Mengkafirkan semua orang yang ikut dalam pemilu tanpa adanya perincian.
M Mengkafiran semua orang yang menyelisihi
ijma’ tanpa perincian.
M Mengkafiran semua orang yang tidak mau mengkafirkan pemerintah thaghut.
M Mengkafirkan orang hanya karena bergabung dengan jama’ah-jama’ah Murji`ah.
Di akhir kitab
Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah, Asy-Syaikh Abu
Muhammad membahas secara khusus tentang orang-orang Khawarij, ciri-ciri
mereka dan bagaimana sikap ahlussunnah terhadap mereka. Yang jelas,
orang-orang beriman, yang berjuang menegakkan Tauhid serta menghancurkan
kesyirikan, termasuk kesyirikan dalam bidang hukum dan
perundang-undangan saat ini, bukanlah orang-orang Khawarij sebagaimana
yang ditudukan golongan Murji`ah yang mengaku-ngaku sebagai orang-orang
salafi.
Pada bab-bab berikut ini, akan dipaparkan dengan ringkas beberapa pembahasan yang dipandang penting pada kitab
Ar-Risalah Ats-Tsulatsiniyah.
Namun, alangkah baiknya, apabila pembaca langsung merujuk kepada kitab
tersebut, apalagi setelah diterjemahkan sebagai ikhwah serta
dipublikasikan webblog yang telah disebutkan di atas.
(1)
Kafirkah semua warga negara yang pemerintahnya kafir atau murtad?
Indonesia adalah negara yang dikuasai pemerintah
kafir murtad. Penyebab kekafiran pemerintah itu banyak dan jelas. Di
antaranya adalah sebagaimana yang telah disinggung, bahwa konstitusi dan
undang-undang yang mereka berlakukan adalah hukum jahiliyah buatan
setan berwujud manusia atau warisan thaghut belanda, bertentangan dengan
syari’at Islam.
Dengan kata lain, Indonesia adalah
darul kufr. Namun, apakah status Indonesia sebagai
darul kufr berarti
kekafiran seluruh penduduk yang tinggal di wilayah itu? Dengan kata
lain, apakah kekafiran pemerintah Indonesia berarti kekafiran seluruh
warga Indonesia? Tentu saja tidak. Hanya orang-orang Khawarij saja yang
berpendapat bahwa orang yang tinggal di negeri kafir adalah orang kafir.
Menurut mereka, apabila negara berstatus sebagai
darul kufr, maka seluruh rakyatnya dihukumi kafir sampai mereka hijrah ke negeri Islam.
Asy-Syaikh Maqdisi menjelaskan kesalahan paham ini. Banyak dalil yang
menunjukkan bahwa sekedar tinggal di negeri kafir atau bahkan negeri
kafir harbi tidaklah menyebabkan seseorang menjadi kafir. Di antara
dalil-dalilnya adalah:
- Di masa kehidupan Rasulullah Saw., Yaman pernah dikuasai orang-orang
murtad pengikut Al-Aswad Al-’Anasi yang mengaku-ngaku sebagai nabi.
Mereka berhasil memerintah Yaman dan membunuh Syahr bin Badzan yang
ditugasi Rasulullah Saw. sebagai wali untuk wilayah tersebut. Sebagian
kaum muslimin lari ke Madinah. Sisanya, yaitu Fairuz Ad-Dailamie dan
teman-temannya tetap tinggal di daerah itu, bahkan membuat makar
sehingga berhasil membunuh Al-Aswad dan mengembalikan Yaman ke pangkuan
kekuasaan kaum muslimin. Nabi Saw. tidak mengkafirkan para shahabat yang
tetap tinggal di Yaman, meski wilayah itu dikuasai orang-orang murtad.
- Mesir dan beberapa daerah sekitarnya pernah diperintah orang-orang
kafir dari kalangan Bani ’Ubaid. Mesir yang sebelumnya adalah darul Islam (negeri Islam) menjadi darul kufr (negeri
kafir). Namun, banyak kaum muslimin, bahkan para ulama dan fuqaha tetap
tinggal di wilayah itu. Tidak ada seorang ulama pun yang mengkafirkan
mereka.
- Dalam surat Al-Fath, ayat 25, Allah masih menganggap orang-orang muslim yang tinggal di Makkah, yang saat itu masih berstatus darul kufr, sebagai orang-orang mukmin dan mukminah, bukan orang-orang munafik atau kafir.
- Dari surat An-Nisa`, ayat 92 dapat dipahami bahwa orang muslim yang tinggal di negeri harbi, tidak dianggap sebagai orang kafir.
- Pada surat Al-A’raf, ayat 72 Allah masih menganggap orang-orang muslim yang tidak berhijrah ke darul Islam sebagai saudara. Mereka berhak ditolong ketika terjadi pendhaliman orang-orang kafir terhadap mereka.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa sekedar tinggal di
darul kufr tidak
menyebabkan seseorang menjadi kafir. Kaum muslimin yang tinggal di
Yaman yang dikuasai Al-Aswad dan pengikutnya, atau di Mesir yang
dikuasai Bani ’Ubaid, atau di Makkah yang dikuasa orang-orang musyrik
Quraisy, tidaklah dikafirkan, padahal
darul Islam ketika itu masih tegak dan menunjukkan eksistensinya. Lantas, bagaimana jika tidak ada
darul Islam sebagaimana yang terjadi selama beberapa tahun di abad 20 – 21 saat ini sebelum tegaknya
daulah Islamiyah di Irak? Masuk akalkah jika seluruh orang di dunia dianggap kafir karena seluruh negara dikuasai orang-orang kafir atau murtad?
Masih banyak dalil lain yang menunjukkan bahwa status sebagai
darul kufr tidak menyebabkan penduduknya dihukumi sebagai orang kafir. Penamaan wilayah apakah ia
darul Islam atau
darul kufr, sama sekali tidak berpengaruh pada islam tidaknya warga yang tinggal di daerah itu
.
Tanpa menafikan kewajiban hijrah, perlu ditegaskan bahwa yang disebut orang Islam tidaklah terbatas pada orang yang tinggal di
darul Islam, sebagaimana orang yang tinggal di
darul kufr tidak mesti orang kafir. Kadang suatu wilayah –karena dikuasai kaum muslimin- disebut
darul Islam, namun mayoritas penduduknya adalah orang-orang kafir (dzimmi). Demikian juga, kadang suatu wilayah disebut
darul kufr –sebagaimana kebanyakan negeri-negeri saat ini-, namun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin.
Orang Islam adalah orang yang memenuhi syarat-syarat keislaman
sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam syari’at, meski ia tinggal di
negeri kafir. Sedang orang kafir adalah orang yang menjalani satu atau
lebih kekafiran, meski ia tinggal di negeri Islam.
(2)
Kafirkah Para Pegawai Pemerintah Thaghut?
Di antara pendapat keliru yang dipegang golongan takfiri ekstrim
adalah seluruh pegawai yang bekerja di pemerintah yang tidak berhukum
kepada hukum Allah adalah kafir. Mereka mempunyai kaidah bahwa bekerja
di bawah pemerintah jahiliyah adalah kekafiran. Konsekwensinya, menjadi
PNS adalah kekafiran selama negeri ini masih dipimpin hukum jahiliyah.
Asy-Syaikh Abu Muhammad menjelaskan kesalahan pendapat tersebut.
Menurut beliau, hukum menjadi pegawai pemerintah thaghut atau bekerja di
lembaga-lembaga mereka ditinjau dari jenis pekerjaan yang dilakukan.
Bila pekerjaan itu secara dzatnya termasuk kekafiran, seperti menjadi
anggota legislatif, hakim yang memutuskan dengan undang-undang buatan
manusia, polisi atau tentara yang mengawal dan melindungi undang-undang
jahiliyah, atau terdapat unsur kekafiran seperti bersumpah untuk setia
dan loyal kepada konstitusi dan undang-undang negara (pancasial dan UUD
45 misalnya), maka pegawai untuk pekerjaan seperti itu dihukumi sebagai
orang kafir.
Bila pekerjaan itu termasuk keharaman, namun tidak sampai pada
kekafiran, seperti menjadi penarik pajak, pegawai bank riba, maka
pegawai untuk pekerjaan seperti ini tidak dapat dikafirkan hanya dengan
pekerjaan haram tersebut. Ia ’hanya’ disebut sebagai orang fasik,
kecuali jika ada sebab kekafiran di luar pekerjaan itu.
Bila pekerjaan itu termasuk hal yang mubah, seperti menjadi guru
bahasa Inggris, matematika, petugas kebersihan, petugas lalu lintas,
maka menjadi pegawai untuk pekerjaan ini berhukum ’makruh’. Kemakruhan
ini bukan berasal dari dzat pekerjaan tersebut, tapi karena statusnya
sebagai buruh atau pegawai milik thaghut kafir. Sebab, menjadi pegawai
orang kafir, atau bahkan thaghut yang memerangi Allah dan Rasul-Nya,
berarti menghinakan dirinya sendiri di hadapan orang kafir, bahkan
terkadang dapat memperkuat posisi mereka.
Dengan demikian, menjadi pegawai pemerintah kafir dalam pekerjaan
yang halal, bukanlah kekafiran. Ia baru dihukumi kafir bila ada unsur
kekafiran dalam pekerjaan itu seperti bersumpah untuk patuh kepada
konstitusi atau undang-undang jahiliyah.
Dalil tidak kafirnya menjadi pegawai orang kafir dalam pekerjaan yang
dzatnya boleh dilakukan –selama tidak terdapat unsur kekafiran- adalah
hadits Khabbab bin Arat yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab
Al-Ijarah, bab
Hal Yu`ajiru Ar-Rajulu Nafahu min Musyrikin fi Ardhi Al-Harb (bab bolehkah seseorang memperkerjakan dirinya kepada orang musyik di negeri harbi?)
عن خباب رضي الله عنه قال : كنت رجلا قينا ، فعملت
للعاص بن وائل ، فاجتمع لي عنده، فأتيته أتقاضاه ، فقال : لا والله، لا
أقاضيك حتى تكفر بمحمد، فقلت: أما والله حتي تموت ثم تبعث فلا. قال: وإني
كميت ثم بمبعوث؟! قلت: نعم، قال: فإنه سيكون لي ثم مال وولد فأقضيك، فأنزل
الله تبارك وتعالى: ((أفرأيت الذي كفر بآياتنا وقال لأوتين مالا وولدا))
Artinya:
Dari Khabbab –semoga Allah meridhainya- ia berkata: ”Aku adalah
tukang pandai besi, lantas aku bekerja di tempat Ash bin Wa`il.
Terkumpullah gajiku di tangannya. Lalu aku datang menagihnya. Lantas ia
berkata, ”Tidak, demi Allah, aku tidak menunaikan (gajimu) sampai kau
kafir kepada Muhammad” .
Aku pun berkata, ”Ketahuilah, demi Allah, sampai kau mati lalu
dibangkitkan, aku tidak (akan kafir)”. Ia bertanya, ”Apakah aku mati
lalu dibangkitkan?!” Aku menjawab, ”Ya”. Ia berkata, ”Nanti aku akan
punya harta dan anak, lalu akan aku tunaikan (gajimu)”. Lantas Allah
Tabaraka wa Ta’ala menurunkan firman-Nya ((Apakah kau melihat orang yang
kafir dengan ayat-ayat Kami dan ia mengatakan ’sungguh benar-benar aku
akan diberi harta dan anak’)).
Khabbab menjadi pegawai Ash bin Wa’il yang notabene termasuk pembesar
orang-orang kafir Quraisy saat ia masih di Makkah, padahal Makkah saat
itu masih berstatus sebagai negeri kafir. Nabi pun tahu apa yang
dilakukan Khabbab, dan beliau tidak mengkafirkannya.
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari:
ولم يجزم المصنف بالحكم، لإحتمال أن يكون مقيدا
بالضرورة، أو أن جواز ذلك كان قبل الإذن في قتال المشركين ومنابذتهم، وقبل
الأمربعدم إذلال المؤمن نفسه
Al-Mushannif (Imam Bukhari) tidak menetapkan hukum (menjadi pegawai
orang musyrik), karena ada kemungkinan bolehnya hal itu terbatas pada
saat darurat, atau bolehnya hal itu sebelum adanya izin untuk memerangi
orang-orang musyrik dan membabat mereka, dan sebelum adanya perintah
agar seorang mukmin tidak merendahkan dirinya sendiri.
Kemudian Ibnu hajar menukil ucapan Mihlab:
كره أهل العلم ذلك –أي العمل عند المشركين – إلا
لضرورة بشرطين: أحدها: أن يكون عمله فيما يحل للمسلم فعله. و الآخر أن لا
يعينه على ما يعود ضرره على المسلم
Para ulama menganggap makruh hal itu –yakni bekerja di tempat
orang-orang musyrik- kecuali karena keterpaksaan dengan dua syarat:
Pertama: pekerjaan itu halal dilakukan orang muslim
Kedua: pekerjaan tersebut bukanlah sesuatu yang membantu orang musyik
itu (untuk suatu hal) yang kemadharatannyanya kembali kepada orang
muslim.
(3)
Kafirkah Orang Yang Minta tolong kepada Thaghut dan Pengadilan-Pengadilan mereka untuk Mengembalikan Haknya yang hilang?
Ketika terjadi kedhaliman yang menimpa seorang muslim, hartanya
dirampok, atau isterinya diperkosa misalnya, atau ia kehilangan sesuatu
yang berharga atau menjadi korban kekerasan rumah tangga tanpa ada
kerabat yang bisa mengatasinya, sementara hukum Islam tidak tegak dan
kaum muslimin tidak memiliki kekuasaan, apakah yang akan ia lakukan?
Kafirkah ia bila datang ke pengadilan-pengadilan jahiliyah atau
lembaga-lembaga milik pemerintah thaghut untuk mengadukan perkara yang
menimpanya? Kafirkah ia jika meminta tolong kepada polisi (antek
thaghut) untuk mendapatkan kembali haknya yang diambil atau
kehormatannya yang direnggut orang lain?
Bagi golongan takfiri ekstrim, orang semacam itu dihukumi kafir.
Mereka menganggapnya berhukum kepada hukum jahiliyah. Sampai-sampai,
sebagian mereka mengkafirkan orang muslim hanya karena tampil di depan
pengadilan-pengadilan jahiliyah, atau di kantor-kantor polisi thaghut
dalam rangka menyampaikan pembelaan terhadap dirinya atau memberikan
penjelasan dan persaksian yang meringankan saudaranya sesama muslim.
Bahkan, sekedar datang ke kantor-kantor polisi untuk memberitahukan
tentang anaknya atau barangnya yang hilang, dengan harapan barangkali
petugas kepolisian mampu menemukannya, juga mereka anggap sebagai
kekafiran. Golongan takfiri ekstrim itu mewajibkan setiap muslim untuk
menolak datang di pengadilan dan kantor-kantor thaghut serta lari dari
tempat-tempat itu. Jika tidak, ia termasuk orang-orang kafir.
Padahal, seringkali keengganan seseorang untuk tampil memberikan
persaksikan di pengadilan-pengadilan jahiliyah itu atau menyampaikan
pembelaan diri dari tuduhan-tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya,
justru menyebabkan dirinya atau orang lain menjadi korban kedhaliman
para thaghut melalui undang-undang kufur mereka, atau mendapatkan sanksi
yang berlipat ganda, atau jatuh pada kesulitan yang lebih besar dan
rumit.
Di samping itu, di antara para aparat thaghut dan penegak
undang-undang jahiliyah, kadang-kadang ada –bahkan secara realita memang
ada- orang-orang yang tidak senang terjadi kedhaliman serta berusaha
sebisa mungkin membantu orang-orang lemah yang teraniaya. Sehingga,
keberadaan orang-orang itu cukup membantu mengembalikan hak-hak kaum
muslimin yang dirampas orang-orang dhalim.
Sebagai contoh, saat terjadi penganiayaan yang dilakukan para penegak
hukum thaghut terhadap Ustadz Abu Bakar Baasyir, ternyata yang
memberikan jasa terbesar dalam membebaskan beliau di antaranya adalah
Adnan Buyung Nasution melalui TPABB (Tim Pengacara Abu Bakar Baasyir)
yang ia pimpin. Adnan Buyung Nasution adalah sosok liberal tokoh AKKBB,
yang sangat anti terhadap syari’at Islam.
Asy-Syaikh Abu Muhammad menjelaskan kekeliruan paham takfiri ekstrim
tersebut, meski beliau sendiri mengaku tidak mau berlindung atau
mengadukan kasus kedhaliman yang menimpanya kepada para thaghut, lembaga
atau pengadilan-pengadilan mereka, termasuk dalam urusan lalu lintas
sekalipun, walaupun untuk itu beliau kehilangan semua barangnya; bahkan
beliau juga menganjurkan kaum muslimin untuk bersikap seperti itu
sebagai bentuk menjauhi thaghut dan undang-undang buatan mereka.
Namun bagi beliau, menvonis kafir secara rata orang-orang yang datang
ke pengadilan-pengadilan jahiliyah dan lembaga-lembaga thaghut adalah
tindakan serampangan. Apalagi jika masalah yang mendorong mereka untuk
berurusan dengan thaghut dan lembaga-lembaga peradilan mereka itu tidak
sebatas urusan kecil, namun sudah berkaitan dengan masalah kehormatan
dan jiwa yang tidak boleh dibiarkan atau didiamkan.
Di antara alasan-alasan beliau untuk membantah paham takfiri ekstrim tersebut adalah:
- Celaan yang Allah sebutkan pada surat An-Nisa ayat 60, hanya
ditujukan kepada orang-orang yang berhukum kepada thaghut padahal hukum
Allah (syari’at Islam) sudah tegak dan mereka diberi kemudahan untuk
berhukum kepadanya. Sebaliknya, jika kaum muslimin tidak berkuasa dan
hukum Allah tidak dapat dijalankan –sebagaimana yang terjadi pada saat
ini-, sementara tidak ada jalan untuk melindungi hak, jiwa dan
kehormatan selain meminta perlindungan kepada para thaghut dan
pengadilan-pengadilan mereka, maka tidak semestinya vonis kafir
dilekatkan pada orang yang melakukannya karena faktor keterpaksaan itu,
kecuali jika ia memang ridha dengan hukum jahiliyah itu.
- Ketika orang-orang kafir Mekkah meminta Raja Najasyi agar
memulangkan kaum muslimin yang hijrah di wilayahnya untuk kembali ke
kampung halaman mereka (Mekkah), Ja’far dan kawan-kawannya datang kepada
sang raja itu –yang saat itu masih kafir- untuk menyampaikan pembelaan
diri dari tuduhan-tuduhan yang diberikan orang-orang kafir itu. Begita
juga, banyak kaum muslimin yang bernaung di bawah perlindungan orang
kafir demi menjaga jiwa dan harta mereka. Tidak ada dalil bahwa
Rasulullah mengkafirkan mereka.
- Saat di penjara, Nabi Yusuf as. menyampaikan perihal dirinya yang
didhalimi kepada raja Mesir saat itu, padahal beliau tahu kekafiran raja
tersebut serta undang-undang dan agama sang raja yang bertentangan
dengan apa yang Allah turunkan. Beliau pun menyampaikan pembelaan untuk
dirinya di hadapan raja kafir itu dari tuduhan keji yang dialamatkan
kepadanya.
Dengan demikian, bila ada orang lemah dari kalangan muslimin yang
membela diri di hadapan thaghut atau mengadukan kedhaliman yang
menimpanya di pengadilan-pengadilan mereka, ia belum bisa divonis
sebagai orang kafir. Kecuali jika terbukti ia ridha dan senang dengan
undang-undang jahiliyah yang mereka buat.
(4)
Kafirkah Para Peserta Pemilu?
Tidak diragukan bahwa orang yang secara sadar mengangkat manusia
sebagai musyarri’ (legislator), mengangkatnya sebagai orang yang berhak
membuat hukum dan perundangan-undangan, atau memberinya wewenang untuk
menciptakan hukum halal-haram, maka orang seperti itu kafir murtad dari
Islam. Sebab, ia sama saja mengangkat manusia sebagai tuhan selain
Allah. Sebagaimana yang kita tahu, hak membuat undang-undang hanya
dimiliki Allah saja.
Lantas, apakah semua yang ikut serta dalam pemilu, baik pemilihan
kepala daerah atau anggota legistatif, adalah orang-orang kafir?
Badan legistatif adalah badan yang bertugas membuat undang-undang
dalam harta, jiwa dan kehormatan manusia. Sehingga, hakekat pemilu
legislatif adalah mengangkat manusia sebagai musyarri’ (legislator),
atau memberikan wewenang kepadanya untuk membuat undang-undang. Memberi
seseorang hak atau wewenang untuk membuat undang-undang berarti
mengangkatnya sebagai tuhan. Hal ini jelas kekafiran nyata berdasarkan
nash-nash qath’ie.
Namun, secara fakta tidak semua peserta pemilu tahu hakekat tersebut.
Banyak di antara mereka yang ikut serta dalam pemilu dengan tujuan yang
keluar dari hakekat pemilihan itu. Mereka memilih calon tertentu bukan
dengan maksud mengangkatnya sebagai musyarri’ (legislator), atau sebagai
orang yang akan menjalankan kekafiran seperti menjalankan undang-undang
jahiliyah, melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang bukan termasuk
kekafiran.
Di antara mereka ada yang memilih calon tertentu karena berharap ia dapat memakmurkan daerah mereka.
Ada juga yang memilih sosok tertentu karena berharap ia dapat memberantas KKN di negerinya
Bahkan ada juga yang memilih orang tertentu dengan harapan ia dapat
meminimalisir kerusakan atau paling tidak menegakkan sebagian syari’at
Islam. Ia memilihnya karena ingin memperjuangkan Islam.
Artinya, mereka melakukan sesuatu yang tidak mereka ketahui
hakekatnya. Mereka memilih calon legistatif, namun mereka tidak tahu
bahwa hal itu sama halnya mengangkat seseorang sebagai pembuat hukum,
perbuatan yang tidak diragukan lagi termasuk kekafiran besar!.
Karena itulah, Asy-Syaikh Maqdisi menjelaskan bahwa
jahalah (ketidak tahuan) itulah menjadi mani’ (penghalang) jatuhnya vonis kafir terhadap pelakunya.
Ia seperti orang yang mengatakan ucapan kufur namun tidak tahu bahwa ucapan itu adalah ucapan kufur.
Ia seperti suami yang mengatakan kepada isterinya ’hai thaliq’, namun
tidak tahu bahwa arti ’thaliq’ adalah wanita yang dicerai dan ia memang
tidak bermaksud menceraikannya. Tidak diragukan, sang isteri tidak
jatuh talak atasnya karena ucapan suami itu, karena ada unsur ketidak
tahuan tersebut.
Seperti halnya seorang tuan berkata kepada budaknya ’kau adalah
hurr’, sementara ia tidak tahu bahwa ’hurr’ artinya merdeka dan ia
memang tidak berniat memerdekakannya. Si budak tidak dapat dihukumi
merdeka karena ucapan sang tuan itu, karena ada unsur ketidak tahuan
tersebut.
Asy-Syaikh Maqdisi menukil ucapan Al-Izz bin Abdussalam dalam kitab Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul Anam, sebagai berikut:
فإذا نطق الأعجمي بكلمة كفر أو إيمان أو طلاق أو
إعتاق أو بيع أو شراء أو صلح أو إبراء، لم يؤاخذ بشيئ من ذلك لأنه لم يلتزم
مقتضاه، ولم يقصد إليه . .
Apabila orang ajam (bukan orang Arab) mengucapkan kalimat kekafiran,
atau keimanan, atau talak, atau pemerdekaan, jual-beli, perjanjian, atau
pelepasan hak, maka ia tidak dihukumi apapun, sebab ia tidak melakukan
konsekwensinya dan tidak bermaksud melakukannya.
Maksud ucapan Al-Izz bin Abdussalam di atas adalah bahwa orang ajam
yang mengatakan suatu kalimat arab, namun tidak mengerti maknanya dan
tidak bermaksud melakukan apa yang ia katakan, ia tidak dapat dihukumi
apapun. Misalnya, orang mengucapkan kalimat kekafiran, namun ia tidak
tahu bahwa kalimat itu adalah kalimat kekafiran, dan ia memang tidak
berniat melakukannya, maka ia tidak dapat dihukumi sebagai orang kafir.
Karena itu, memukul rata dengan vonis kafir terhadap semua yang ikut
terlibat dalam pemilihan anggota legistatif adalah kesalahan fatal.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah:
- Peserta pemilihan anggota legislatif yang tidak tahu hakekat
pemilihan itu, dan tidak punya maksud mengangkatnya sebagai orang yang
berhak membuat undang-undang, tidak dapat dikafirkan.
- Peserta pemilihan anggota legislatif yang tahu hakekat pemilihan itu
–yaitu pelimpahan hak membuat hukum atau undang-undang kepada manusia-,
ia tahu hakekat tugas anggota legistatif, atau memang bermaksud
mengangkatnya sebagai legislator, maka ia dihukumi sebagai orang kafir
murtad.
Hal itu juga berlaku pada pemilihan kepala daerah. Orang yang memilih
kepala daerah namun tidak mengerti bahwa pemilihan itu pada hakekatnya
adalah mengangkatnya sebagai orang yang akan menjalankan undang-undang
kufur, tidak dapat dikafirkan. Yang dihukumi kafir hanyalah orang yang
tahu hal itu, namun tetap ikut serta dalam pemilihan tersebut tanpa
pemaksaan.