Gundah Dalam Genggam Mesra
Semakin erat genggaman Pertiwi
Semakin gundah rasa Papua
Setiap hasrat diartikan pemberontakan
Tak tahu harus memaki atau mengerang nikmat
Puri Sunyi, 9 Desember 2011
Heru Supanji
Secara harfiah, kata koteka 
bermakna "pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai. 
Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim.
Anggapan umum orang luar Papua, 
bahwa ukuran dan bentuk koteka  berkaitan dengan status pemakainya. 
Sebenarnya tidak demikian, namun ukuran biasanya berkaitan dengan 
aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. 
Suku-suku di Papua yang banyak 
dapat dikenali dan dibedakan dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka
 yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan 
hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat. Kendati demikian, setiap 
suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Yali, misalnya, menyukai 
bentuk labu yang panjang. Berbeda dengan orang Tiom yang biasanya 
memakai dua labu.
Seiring waktu, koteka semakin 
kurang populer dipakai sehari-hari. Koteka dilarang dikenakan di 
kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kalaupun ada, koteka hanya untuk 
diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Di kawasan 
pegunungan, seperti Wamena, koteka masih dipakai. Untuk berfoto dengan 
pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong beberapa puluh ribu rupiah. 
Di kawasan pantai, orang lebih sulit lagi menemukannya.
Para misionaris mengampanyekan 
penggunaan celana pendek sebagai penganti koteka sejak 1950-an, proses 
yang tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem saat itu kadang-kadang 
mengenakan celana, namun tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak 1960-an pun 
berupaya mengurangi pemakaian koteka. Melalui para gubernur, sejak Frans
 Kaisiepo pada 1964, kampanye antikoteka digelar.
Pada 1971, dikenal istilah 
"operasi koteka" dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk. Akan 
tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu akhirnya tak pernah dicuci. 
Pada akhirnya warga Papua malah terserang penyakit kulit.

